Pages

Sunday 25 December 2011

26 desember 2004 : Saya Diambang Kematian !!



26 Desember 2004 merupakan hari bersejarah bagi dunia, begitu juga bagi sejarah hidup saya.


Tepat 7 Tahun yg lalu, saya berjuang untuk bisa hidup seperti sekarang, begitu juga orang-orang yg terselamatkan seperti saya. Tanpa terasa saya telah melewati berbagai peristiwa besar yang membuat nama “Nanggroe Aceh Darussalam” menjadi terkenal dimata publik Indonesia maupun Dunia, yaitu Tsunami dan Konflik. Kedua peristiwa tsb saya lewati dgn meninggalkan trauma yg berbekas bagi kehidupan saya, terkadang membuat saya sering Hectic tdk menentu disaat mendengar kata “Gempa” dan “Baku Tembak”. Ya, saya anak Aceh korban Tsunami dan Konflik lebih tepatnya.

Di usia 11 Tahun, saya harus melihat orang tertembak di depan mata saya ketika  saya pulang  sekolah. Saat itu saya masih bertempat tinggal di Lhokseumawe  dikediaman orang tua ayah saya. Saya pulang dengan pucat pasi, dan dengan cepat orang tua saya mengetahui ada sesuatu yg “gak beres” dengan saya, dan untuk kemudian orang tua saya membawa saya ketempat yg lebih aman,di Bogor. Di Bogor saya menghabiskan waktu 1,5 Tahun sembari menunggu Ayah menyelesaikan program doktoralnya di Bandung, setelah itu kami kembali lagi ke Aceh. Saya menikmati masa-masa SMP yg sangat menyenangkan di Aceh, keadaan di Aceh jauh lebih membaik setelah kepergian saya 1,5 tahun yg lalu, saya tidak kembali lagi ke Lhokseumawe, namun saya bertempat tinggal di Banda Aceh, dan setahun kemudian, saya mendapatkan Trauma baru akibat bencana dahsyat yg melanda kota dimana saya tinggal saat itu,yaitu  Tsunami.


Saya ingat betul bagaimana minggu pagi itu terasa tenang, karena ingatan yg terlalu kuat saya pun juga tak akan pernah lupa bagaimana saya masih menyesalkan 1 hal penting yg dulu saya anggap sepele, saya melewatkan 1 waktu shalat subuh dipagi itu, mungkin  bila hari itu adalah akhir perjanjian hidup saya dgn Sang Maha Pencipta, saya mungkin menjadi orang yg paling menyia-nyiakan waktu. Betapa konyolnya waktu itu, mengingat saya masih kecil dan suka sekali meninggalkan ibadah wajib 5 waktu. Pagi itu, saya telat bangun, hari minggu adalah waktunya bermalas-malasan. Sesaat saya bangun, bunda menyuruh saya untuk bergegas sarapan, tapi saya melewatkannya begitu saja dgn menonton film kartun di TV. Tiba-tiba listrik mati, beberapa menit kemudian kami dikejutkan dengan gempa yg  kekuatannya  belum pernah saya rasakan, sangat dahsyat. Dan dengan polos pada saat itu saya bilang sama bunda “ Bun, kayak naek Kora-kora di dufan yaah, hehe.” (pada saat itu saya masih bisa tertawa) kemudian suasana menjadi sangat menakutkan ketika saya melihat raut wajah tetangga saya yg berhambur keluar, luar biasa panik nya. Ada yg menangis, ada yg memegang baju ibunya dgn sekuat tenaga, mereka ketakutan ! saya sadar ini bukan lg gempa yg biasa terjadi, saat saya mulai terasa mual dan ingin muntah, ternyata gempanya berlangsung selama 5-10 menit . Kemudian kakak nenek saya ( tepat di hari jumat semua saudara ayah saya berkunjung kerumah untuk mengantarkan nenek saya berangkat Haji, untungnya di hari sabtu semua saudara saya meninggalkan Banda Aceh, terkecuali kakak nenek saya dan cucunya ) mengumandangkan adzan, saya jelas heran ! saya gak ngerti, mengapa harus dikumandangkan adzan pada saat pagi cerah seperti ini, dzuhur belum jg tiba. Akhirnya saya mendapatkan jawabannya setelah 20 menit kemudian. Adzan dikumandangkan saat terjadi bencana yg dahsyat. Dan memang benar, setelah itu air laut naik, dulu saya masih terlalu polos saat orang-orang berteriak “air,air….” Dan saya malah membawa 1 ember air keluar rumah, yg terpikir oleh saya pasti terjadi kebakaran akibat gempa tadi, makanya orang berteriak air, tetapi yg terjadi adalah air datang bergemuruh seperti badai, saya tercengang, ketika melihat orang orang berlari tergesa-gesa dengan raut wajah yg luar biasa panic, saya ingat betul disaat saya berteriak kepada ayah “apakah ini kiamat ??” saya menjerit histeris disaat orang orang menangis dan berseru “Allahu Akbar” benar-benar histeris ! dan kali pertamanya saya menjerit sekuat tenaga, hanya pada saat itu. Kemudian saya lihat muka-muka muram kedua orang tua saya yg sangat pasrah, kami sedang menghadapi kematian !

Betapa saya mengingat masa-masa panic itu, detik berjalan terlalu lama, sehingga saya ingat betul  dihari itu disaat air menyapu orang-orang bagaikan air menyiram debu-debu dilantai. Saya ingat,Bagaimana orang tua menangisi anaknya, Bagaimana tembok-tembok rumah didepan saya hancur hanya sekejap mata, ditabrak air yg begitu besar riaknya. Bagaimana saya mengingat betul salah satu penjaga bayi tetangga saya mengulurkan tangan untuk meminta pertolongan dan saya hanya bisa diam karena tdk bisa menggapai tangannya yg hanyut terbawa air. Bagaimana saya jelas mengingat orang terhanyut dengan wajah yg pasrah dan tersenyum mengucapkan “Lailahailallah” dan saya jelas mengingatnya, mengingat gerak mulut nya menggumamkan nama Allah seraya menghadapi akhir hidupnya, dan kemudian tenggelam. Bagaimana saya mengingat dengan jelas air besar itu menghanyutkan garasi didepan mata saya.

Saat air menyapu habis sebagian orang didaerah rumah saya, Saya berpeganggang tangan dengan kuat bersama bunda, adik saya, kakak nenek saya dan cucunya, ayah saya hilang ntah kemana. Dengan kuat saya menggenggam tangan bunda dengan tangan kiri saya, dan dengan kuat juga saya menggenggam Kitab suci Al-qur’an hadiah ulang tahun ke -11 yg diberikan nenek yg sampai saat itu saya belum pernah membacanya, begitu menyedihkan. Saya berjanji kepada diri saya, sekalipun saya terhanyut, saya tdk akan melepaskan Al-Qur’an itu, saya tdk mau Al-qur’an itu menjadi sia-sia, biarlah saya mati hingga sampai saya menggenggamnya dengan erat, biarlah ia menjadi penolong bagi saya walaupun saya tdk pernah membacanya sampai saat itu, biarlah saya menjaganya untuk kali pertama dan untuk terakhir kali sampai saya tak mampu menjaganya lagi bila saya tak terselamatkan. Dan benar, kalau bukan karna Mukzizat Allah, mungkin saya benar-benar akan ditemukan didalam puing-puing dan lumpur setelah beberapa hari berlalu Tsunami,namun kenyataannya saya masih diberi kesempatan hidup oleh Sang Pencipta.

Disaat kami berpegangan tangan, seperti menari  air membawa masuk kedalam rumah saya, kami dibuat berkumpul bersama disatu ruangan dimana atap terasa begitu tinggi dan kami jauh dari yg namanya tenggelam. Ajaib !  air begitu tenang diruangan itu seakan, tak terjadi bencana, air begitu sejuk, bahkan saya tdk mengingat akan suara gemuruh air beserta jerit tangis orang-orang diluar sana, terlalu hening ruang keluarga yg biasa dipenuhi  tawa saat saya menonton TV. Saat saya melihat sekeliling, ruangan itu begitu berantakan, dipenuhi sofa-sofa, lemari, TV, computer yg mengambang didalamnya, kami berkumpul disana, kecuali ayah. Saya ingat betul menanyakan 2 pertanyaan yg penting ( bagi saya ) kepada bunda , “Bunda, ayah dimana ya ? apa kakak jadi anak yatim ?” dan bunda menjawab sambil tersenyum, “Gak, mudah-mudahan gak yah..” . Dan pertanyaan kedua “Bun, Tim SAR cari kita gak ya ?” yang ada dibayangan saya, Tim Penyelamat datang dengan helicopter menjulurkan tangga yg terbuat dari simpul tali tambang dan menarik kami keatas, atau Tim Penyelamat datang dengan Boat nya, maklum saya masih teringat dengan film Titanic yg ditayangkan di TV beberapa hari sebelum kejadian Tsunami. Saya hanya bisa berharap itu terjadi, disamping saya masih mencemaskan ayah.
Di ruangan itu kami berpegangan pada lemari yg mengambang, bukan hanya saya dan keluarga saya  saja,tapi juga orang lain yg terbawa hanyut kedalam rumah, ada tetangga saya dan juga orang dibelakang rumah yg saya tdk kenal. Saya ingat, tetangga saya pada saat itu tdk berbusana dan bertelanjang dada, karena baju atasannya hanyut terbawa air, yg saya heran, bahkan sumpit diatas kepala sayapun ( pada saat itu sedang model menggulung rambut dengan sumpit) tdk terlepas sedikitpun, dan kaos oblong besar kesukaan saya jg tdk terhanyut.

 Tetangga saya dengan risih meminta maaf kepada semua orang karena mengganggu pemandangan dengan tubuhnya yg tak terbalut apa-apa, dan dengan rasa risihnya itu, ia menjadi tidak stabil saat berpegangan, dan akhirnya lemari tempat kami berpegang menjadi bergerak-gerak tdk beraturan , disaat itu pula saya tergelincir jatuh dan tenggelam, mungkin kalau saja saya tdk memegang Al-Qur’an, saya masih bisa mengambang di atas lemari, namun karena janji saya untuk tetap memegang Al-qur’an, maka saya tenggelam dengan seketika.Saya tdk bisa berenang ! moment yg  sangat pas untuk menunggu detik detik kematian, saya mendengar suara adik saya teriak meminta tolong melihat saya tenggelam, air begitu hitam pekat, saya coba naik keatas permukaan, tapi diatas kepala saya terhalang oleh sofa besar yg terbalikn yg diatasnya sedang di pegangi orang-orang yg mengambang diatas sana. Saya pasrah. Berulang kali mengucapkan syahadat. Dan disaat saya mengucapkan syahadat yg ke-3,saya kehabisan nafas dan dengan ikhlas menutup mata, tetapi kemudian  ada tangan yg mendorong badan saya ke atas hingga ke permukaan, ajaibnya, sofa yg menghalangi kepala saya hilang ntah kemana !

Saya terkejut dan terdiam, apa itu Mukzizat ?? saya benar-benar  heran. Saya tenggelam selama 15 menit tp waktu begitu singkat pada saat itu, persis yg saya ingat hanyalah beberapa detik saja, tapi bunda berkata, bunda berulang kali menyelam kedasar mencari saya namun tdk dapat-dapat,dan kemudian saya muncul ditempat bunda menyelam sebelumnya dengan wajah yg biasa-biasa saja. Kemudian saya berteriak histeris mengatakan bahwa ada orang dibawah sana menyelamatkan saya, saat saya meraba-raba dengan jemari kaki saya, yg saya rasakan hanya kabel-kabel TV, Telepon dan computer yg menyangkut, bahkan bunda menyelam kedalam sana, dan tdk menemukan apa-apa. Saya begitu senang saat kembali sadar bahwa Al-Qur’an yg saya pegang masih tetap berada ditangan saya. Kemudian saya membaca dengan keras ayat ayat Alquran tersebut sambil menunggu air surut, dan disitulah ayah mendengar suara kami. Ternyata ayah diangkat air naik ke atas atap.Dan  Kami langsung bergegas ke atas atap dan berkumpul kembali.

Saat air surut  malamnya saya mengungsi di ruko 3 tingkat didepan rumah saya (Lingke) persis di depan Asrama Brimob yg sekarang telah menjadi POLDA ACEH, disana banyak pengungsi yg lebih menyedihkan dibanding kami, kami masih bersyukur, tdk ada seorangpun diantara kami yang terluka, kami masih sama seperti sebelum kejadian Tsunami menghantam, hanya saya baju kami basah kuyup dan kotor terkena lumpur. Saya mendapatkan tetangga saya yg kehilangan anak dan terluka parah dikepalanya kerena tertancap paku dari puing-puing reruntuhan rumah. Saya juga mendapatkan seorang gadis yg diasuh oleh keluarga keturunan tionghoa yg baik yg katanya mereka bertemu saat air tsunami menyurut dan kemudian ikut mengungsi ditempat kami, gadis itu terluka parah, mulutnya robek karena tertebas oleh ujung seng atap rumah yg mengambang, ia dari daerah alue naga dan terhempas sampai ke lingke, benar-benar luka yg sangat parah, mulutnya robek hingga membelah tulang pipi. Dan juga kami bermalam disitu bersama mayat-mayat anak kecil yg tdk tau siapa sanak saudaranya.

Paginya kami mengungsi kerumah teman ayah di daerah Darussalam yg tdk terkena tsunami, selama 3 hari. Di hari rabu, tanpa uang yg banyak (uang yg ada hanya didalam dompet, karena bank dan atm hancur, bahkan listrik padam selama berminggu-minggu).  Dengan bermodalkan “nekat” saya menyarankan ayah untuk pulang ke Bogor. Modalnya hanya “Nama Ayah teman saya” iya ! seminggu sebelum tsunami, teman SMP saya dari Bogor datang kerumah, dia khusus mengunjungi saya, sangat sangat terkejut ! ternyata ayahnya dipindah tugaskan ke Aceh sebagai Komandan AU di Blang Bintang, maka sekalian berkunjung ketempat ayahnya, Ayu (nama teman saya) mampir kerumah, saya dan keluarga Ayu sangat dekat terutama Ibu ayu,karena sewaktu di Bogor saya sering sekali bermain kerumahnya. Pada hari Rabu itu dengan modal keberanian saya ,menemui Ayah teman saya di Lapangan udara blangbintang untuk membeli tiket pesawat dengan uang yg seadanya, tanpa diduga, ternyata bukan hanya Ayah Ayu saja yg ada disitu, tetapi Ibu Ayu juga sdg berada di Banda Aceh, karena saya dekat dengan Ibunya, maka ibu nya saat melihat saya teriak histeris dan berkata bahwa ia sangat senang saya selamat, dan kemudian atas perintahnya, saya beserta keluarga dijadikan prioritas utama untuk penerbangan pertama ke Jakarta pada saat itu, atas pertolongan Keluarga ayu, kami pun akhirnya tiba di Bogor dengan selamat dan tanpa harus mengantri membeli tiket pesawat. Betapa beruntungnya keluarga saya, banyak sekali Rahmat yg datang disaat musibah tsunami datang, namun kami menghadapinya dengan sabar dan tetap tersenyum. Sehingga semua nya dapat kami lewati  tanpa rintangan dan bermakna, menjadikannya memori di dalam kehidupam kami masing-masing.

Ini adalah pengalaman hidup saya  yg sangat berharga, kelak akan saya ceritakan berulang ulang kepada anak dan cucu saya. Disetiap tahunnya saya mengenang hari ini dengan penuh syukur dan doa agar sisa hidup saya tdk menjadi sia-sia.







BY :



0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...